By : Aris Wada
Hari ini aku akan ke Denpasar. Ada teman di Denpasar yang mengabarkan padaku bahwa ada satu bangunan besar yang akan dibangun. Katanya, proyek tersebut membutuhkan banyak tenaga. Sebenarnya, aku baru beberapa hari lalu menyelesaikan sebuah bangunan di Surabaya. Dan sekarang lagi nganggur, jadi kuputuskan untuk berangkat ke Denpasar.
Kunaiki
sebuah bus jurusan Denpasar yang sudah menunggu penumpang di blok
pemberangkatan terminal bus. Bus itu hampir penuh oleh penumpang dari
berbagai
umur. Hanya ada tiga tempat duduk yang kosong. Kulangkahkan kakiku
menuju salah
satunya. Seorang lelaki yang duduk di sebelah tempat duduk yang kutuju
menoleh
kearahku ketika kulekatkan pantatku pada tempat duduk yang butut itu. Ia
tersenyum. Aku membalas senyumnya.
“Mau ke
mana?” tanyanya santun.
“Ke Denpasar,” jawabku sambil
berusaha membalas santunnya. “Anda?” aku
balik bertanya.
“Kebetulan, saya juga mau ke
Denpasar.”
“Oh,” aku mengangguk sambil melepas jaketku. Udara sangat
panas. Rasa gerah
merayapi seluruh tubuhku. Kubuka kancing atas kemejaku, lalu kukipasi
dadaku. “Ah,
panas sekali udara hari ini,” kataku sambil terus mengipasi dada.
”Iya, ya.”
Lelaki itu diam sejenak. “Entah kapan kemarau panjang ini
berakhir,” ia melanjutkan bicaranya.
”Mungkin
sampai kita semua mati kepanasan,” jawabku dengan maksud bergurau.
Dan,
begitulah. Obrolan kami terus mengalir. Hingga tak terasa, bus sudah
cukup jauh meninggalkan terminal kota. Tapi, obrolan kami semakin seru.
Obrolan
itu telah membuatku mulai mengenal kehidupannya. Aku mulai mengenalnya
lebih
dekat. Namanya Umbu. Umurnya tidak jauh beda denganku. Ia orang Sumba.
Tapi
setelah lulus SMA di Sumba, ia merantau ke Jember guna melanjutkan
studinya.
Setelah lulus ia bekerja pada sebuah perusahaan swasta di Surabaya. Ia
anak
yatim. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Umbu adalah anak
tunggal. Kini,
sudah sepuluh tahun ia meninggalkan ibunya di kampung. Waktu sepuluh
tahun
telah membuatnya tak mampu menahan kerinduan kepada sosok perempuan yang
telah
melahirkannya itu. Dan, hari ini ia ingin kembali ke pelukannya.
“Tentu ibuku
sudah sangat tua sekarang,” katanya.
Selama
sepuluh tahun pula, Umbu tidak pernah mendengar kejelasan tentang
kabar ibunya. Tapi, yang membuat aku heran sekaligus kagum, dalam
ketidakjelasan kabar tentang ibunya itu, Umbu sangat yakin kalau ibunya
masih
hidup.
“Saya hanya mengirimi ibu sedikit sisa gaji setiap bulannya.
Namun saya
tidak pernah mengiriminya surat atau telegram,” Umbu melanjutkan
ceritanya
sambil menatap kosong ke luar kaca jendela bus. Ada setitik air dari
sudut
kelopak matanya.
“Anda tidak pernah mengiriminya
sepucuk surat pun?” aku bertanya penasaran.
”Ya. Soalnya
Ibu saya buta huruf,” jawabnya singkat sambil berusaha menahan
airmatanya.
Aku jadi teringat ayah dan ibu di kampung. Mereka juga buta
huruf. Mereka
sangat bersemangat untuk menyekolahkan aku yang semata wayang ini.
Mereka
sangat berharap aku bisa mencapai gelar sarjana. Tapi, aku terlalu yakin
dengan
idealismeku bahwa orang pintar bukan hanya dicetak oleh sekolah. Banyak
sarjana
yang nyatanya bodoh. Toh aku bisa membaca buku di rumah. Buku bisa
membuat aku
pintar. Baca buku bukan hanya di sekolah saja, bukan? Begitulah,
idealismeku
itu membunuh diriku sendiri dengan pelan-pelan, layaknya bahaya laten.
Aku
hanya tamat SMU, dan itu pun dengan tertatih-tatih. Setelah menganggur,
aku hidup
dengan penuh penyesalan. Banyak temanku yang sudah berhasil. Sementara
aku
hanya bisa menyiapkan telinga yang tebal untuk mendengar kemarahan ayah
dan
ibu. Ditambah lagi dengan gunjingan para tetangga di kampung. Aku jadi
malu
pada ayah dan ibu, juga para tetangga. Maka untuk menyelamatkan mukaku,
aku pun
merantau ke kota.
Di kota ternyata sangat sulit
memperoleh pekerjaan. Hampir semua lowongan
pekerjaan bersyarat diploma atau sarjana, plus kursus-kursus. Kalau pun
ada
yang bersyarat ijasah SMU, itu hanya untuk pekerjaan kelas kasar yang
gajinya
tidak cukup untuk biaya hidup seminggu. Maka, aku putuskan untuk kerja
apa saja
alias serabutan. Kerja yang tidak memerlukan ijasah, tapi hasilnya, ya
bisa
dikatakan, lebih mendingan dari pekerjaan yang bersyarat ijasah ini itu.
“Ibu Anda
kan bisa minta bantuan kerabat atau tetangga untuk membacakan
surat dari Anda?” aku melanjutkan pertanyaanku.
“Ya. Memang
bisa. Tapi, ibu saya adalah tipe orang yang paling tidak suka
mengumumkan keadaan anaknya yang sedang merantau. Ibu saya takut dikira
pamer
oleh tetangga. Ibu pernah berkata bahwa Ibu akan bekali aku dengan doa
saja.
Kalau aku mau titip pesan, aku titip saja kepada Tuhan. Karena Tuhan
pasti
menyampaikan pesanku itu lebih cepat dari tukang pos. Ibu pun berkata
bahwa dia
akan selalu mendoakanku. Begitulah nasihat ibu ketika aku menyampaikan
niatku
untuk berkirim kabar setiap bulannya.”
Umbu diam.
Aku pun diam. Yang terdengar hanya gemuruh mesin bus dan
beberapa obrolan penumpang lain.
”Kini sudah sepuluh tahun saya
merantau,” Umbu melanjutkan ceritanya. “Saya
ingin kembali ke kampung halaman. Saya hendak mengabdikan diri kepada
ibu,
membalas budi perempuan yang telah melahirkan saya. Walaupun budi ibu
tidak
bisa dibalas seluruhnya, tapi setidaknya, menurut saya, ada yang
menemani ibu
dalam menjalani sisa hidupnya. Ada saya yang mengambilkannya tongkat
ketika ibu
turun dari ranjang. Ada saya yang menyuapinya nasi yang berasal dari
uang hasil
jerih payah saya sendiri. Saya hanya ingin membahagiakan dan
membahagiakan ibu
di hari tuanya. Karena sudah sekian tahun, belum ada satu hal berarti
yang
pernah saya berikan kepadanya. Saya merasa amat berdosa. Saya merasa
telah
menjadi anak yang paling durhaka di dunia ini.”
Aku hanya
terharu oleh ceritanya. Tapi, lubuk hatiku, aku sangat tersentuh.
Aku ingat ibu dan ayah. Ayah, Ibu, maafkan anakmu yang durhaka ini. Aku
teriak
dan menangis dalam hati. Rasa berdosa kepada kedua orangtuaku semakin
memuncak.
Aku jadi malu bila harus menceritakan apa yang telah aku lakukan kepada
kedua
orangtuaku. Di hari tuanya, mereka masih bersemangat membanting tulang
untuk
mencari makan. Aku yang menjadi satu-satunya tumpuan hidup bagi mereka,
malah hanya
membebani mereka saja. Aku tidak pernah mengirim sedikit pun hasil jerih
payahku kepada mereka. Bahkan, aku sering menerima kiriman uang dari
mereka.
Pernah suatu kali aku menerima titipan uang dari kampung. Kabarnya,
hasil
menjual kerbau. Oh, Tuhan betapa berdosanya aku ini.
“Pernah
selama dua bulan saya tidak mengirimkan uang ke kampung. Krisis
ekonomi membuat gaji saya tidak cukup untuk membeli keperluan
sehari-hari. Saya
bingung. Ke mana saya harus mencari uang untuk dikirim ke kampung? Ibu
pasti
sudah tidak punya uang untuk beli beras atau ikan asin. Waktu itu,
tabunganku
pun sudah habis. Mau pinjam pada teman, saya malu. Akhirnya saya jual
televisi.
Saya kirim seluruh hasilnya ke kampung. Itu pun tidak seberapa, karena
itu televisi
kuno yang hampir tidak laku lagi. Saya bayangkan, kalau ibu tidak punya
uang,
ia pasti membuat tikar untuk dijual. Karena di rumah tidak ada lagi
barang yang
bisa dijual. Saya dapat rasakan bagaimana ibu begadang setiap malam
untuk membuat
tikar, lalu esoknya beliau terbungkuk-bungkuk dibantu sebuah tongkat
kayu membawa
tikar itu ke pasar untuk dijual. Bayangkan, betapa besar dosa saya
sebagai anak
di kala seperti itu.”
Airmata Umbu turun dari sudut
kelopak matanya, menyusuri pipinya, lalu
jatuh di pangkuannya. Aku semakin terharu. Rasa berdosa kepada ayah dan
ibu
terus memuncak seiring gemuruh mesin bus yang terus melaju. Airmataku
pun
hampir menetes, tapi segera aku usap dengan tanganku.
“Tapi,
sudahlah,” Umbu hendak mengakhiri ceritanya sambil mengusap
airmatanya dengan selembar saputangan berwarna biru gelap. “Saya hanya
berharap, kedatangan saya kembali ke kampung untuk menemani dan
membahagiakan
ibu dapat menutupi sedikit dosa saya.”
Aku hanya
mengiyakan pendapatnya itu.
”Ah, saya jadi terlalu banyak
bercerita. Anda kelihatan mengantuk. Tidurlah!
Toh terminal bus Denpasar masih jauh.”
“Anda juga
kelihatan letih. Istirahatlah, biar di kampung nanti Anda lebih
segar. Toh setelah sampai Denpasar, anda masih harus menempuh perjalanan
yang
jauh,” saranku.
Begitulah. Akhirnya kami
sama-sama terlelap dengan mimpi masing-masing, tak
menghiraukan guncangan bus yang kadang-kadang bisa membenturkan kepada
kami
berdua. Aku terbangun ketika kernet bus mengguncang-guncang pundakku
meminta
ongkos. Umbu masih lelap sekali. Terminal Denpasar masih agak jauh, jadi
aku
putuskan untuk tidak membangunkannya. Kuambil dompet dari saku celanaku.
Kuperhatikan isinya. Masih cukup untuk hidup seminggu di Denpasar. Lalu
kuputuskan untuk sekalian membayar ongkos bus Umbu. Aku juga putuskan
untuk
tidak melanjutkan tidurku. Aku terus merenung, memikirkan seluruh sikap
dan
perbuatanku kepada ayah dan ibu. Cerita Umbu telah melahirkan sebuah
penyesalan
yang amat mendalam dalam hatiku. Seluruh pikiranku hanya dipenuhi oleh
penyesalan. Aku terus menyebut nama Tuhan. Meminta ampun barang sedikit
saja.
Aku amat menyesal. Penyesalan itu terus melarut pikiranku hingga bus
memasuki
gerbang terminal Denpasar.
Bus berhenti. Semua penumpang
berhamburan turun. Sebelum berkemas, aku mau
membangunkan Umbu yang masih lelap tertidur. Tampaknya ia sangat lelah.
Aku
jadi sungkan membangunkannya. Tapi, apa boleh buat, bus sudah sampai di
terminal tujuan. Aku mengguncang pundaknya. Tapi ia tak kunjung
bereaksi. Ah,
lelap sekali dia, pikirku. Seluruh penumpang sudah turun. Hanya tinggal
kernet
dan sopir yang sibuk menghitung uang hasil jerih payah mereka.
“Umbu, kita
sudah sampai,” kataku sambil terus mengguncang pundaknya.
Tak ada
reaksi.
”Umbu! Umbu!”
Tetap tak ada reaksi. Kupegang
pergelangan tangannya, ternyata sudah tak
ada denyutan. Tapi ada senyum di bibirnya. Senyum yang membahagiakan
ibunya di
kampung sana. Jiwanya sudah terbang menuju Sumba dan meninggalkan
jasadnya di
dalam bus, di atas sebuah kursi. (***) Penfui, 1 Januari 2008. Untuk sahabatku Arnoldus Doni Werang di Denpasar.